Abu Abdillah tidaklah terlalu istrimewa dibanding sahabat-sahabatku yang lain, namun Allah-lah yang menjadi saksi atas kesungguhannya dalam kebaikan.
Beliau memiliki semangat tinggi dalam berdakwah. Yang paling terlihat adalah saat beliau bekerja. Beliau bekerja sebagai penerjemah di sebuah wisma penyandang tunawicara dan tunarungu.
Pada suatu hari beliau menghubungiku. Beliau berkata, “Bagaimana menurutmu jika aku menghadirkan ke masjidmu dua orang penghuni wisma tunarungu untuk menyampaikan beberapa kalimat nasehat (ceramah) kepada para jamaah?”
Aku terheran. Aku katakan, “Akankah orang tuli memberi ceramah kepada orang-orang yang mampu berbicara?”
Beliau menjawab, “Benar, Aturlah waktu agar kami bisa datang pada hari Ahad.”
Pada hari Ahad aku menunggu kedatangannya dengan sabar. Aku berdiri di depan pintu masjid sambil terus menunggu. Tiba-tiba Abu Abdillah datang dengan mobilnya. Beliau berhenti dekat dengan pintu masjid. Beliau turun bersama dua orang laki-laki. Salah seorang dari mereka berjalan di sampingnya. Dan seorang lagi, beliau memegang dan menunutunnya.
Aku melihat orang yang pertama, ternyata dia tuli dan bisu, tidak bisa mendengar dan berbicara, namun masih bisa melihat. Orang yang kedua tuli, bisu, dan buta, tidak bisa mendengar, berbicara, dan melihat.
Aku mengulurkan tanganku menyalami Abu Abdillah. Orang yang berada di sebelah kanannya -setelah itu aku tahu namanya Ahmad- memandangku dengan tersenyum. Aku mengulurkan tanganku menyalaminya.
Abu Abdillah berkata kepadaku seraya memberi isyarat agar aku menyalami yang buta, “Salami juga Fayiz!”
Aku berkata, “Assalamu’alaikum, Fayiz!.”
Abu Abdillah berkata, “Pegang tangannya! Dia tidak bisa melihat dan mendengarmu.”
Aku menaruh tanganku pada pada tangannya, dia menggenggam tanganku dengan erat dan mengguncangkannya.
Mereka semua masuk masjid. Selesai shalat Abu Abdillah duduk di atas kursi. Di sebelah kanan beliau Ahmad dan di sebelah kiri beliau Fayiz. Orang-orang melihat dengan tercengang. Mereka tidak menyangka bahwa orang yang duduk di atas kursi muhadarah adalah dua orang bisu.
Abu Abdillah menoleh ke arah Ahmad dan memberi isyarat kepadanya. Lalu Ahmad memainkan tangannya, sementara orang-orang melihat. Mereka tidak paham sedikitpun. Aku memberi isyarat kepada Abu Abdillah agar menerjemahkannya dalam bentuk kata-kata.
Beliau berkata, “Ahmad menceritakan kepada Anda semua kisah saat dia mendapatkan hidayah. Dia mengatakan kepada Anda, ‘Aku terlahir tuli. Aku tumbuh dalam kesulitan dan perjuangan, sementara keluargaku menelantarkanku. Mereka tidak memperhatikanku. Aku melihat orang banyak berbondong-bondong pergi ke masjid, aku tidak tahu untuk apa mereka ke masjid. Terkadang aku melihat ayahku membentangkan sajadahnya rukuk dan sujud, aku tidak tahu apa yang dilakukannya itu. Ketika aku bertanya sesuatu kepada keluargaku, mereka menyepelekanku dan tidak meresponku.”
Kemudian Abu Abdillah diam. Beliau menoleh ke arah Ahmad dan memberi isyarat kepadanya. Ahmad lalu mene-ruskan ceritanya. Dia mengisyaratkan dengan kedua tangannya. Kemudian rona wajahnya berubah seakan-akan dia tampak hanyut dengan ceritanya sendiri. Abu Abdillah menundukkan kepala. Ahmad lalu menangis sesenggukan. Kebanyakan hadirin terbawa menagis pula walaupun mereka tidak tahu mengapa mereka menangis. Ahmad meneruskan ceritanya dengan bahasa isyarat dengan kesan yang begitu mendalam, lalu dia berhenti.
Lalu Abu Abdillah berkata, “Ahmad bercerita kepada Anda sekalian masa perubahan dalam hidupnya, bagaimana dia mengenal Allah dengan sebab bertemu seseorang di jalan yang kemudian mengasuh dan mengajarinya, bagaimana dia memulai shalat, merasakan nikmatnya shalat sesuai kadar kedekatannya kepada Allah dan mengharapkan pahala yang besar karena cobaan yang dideritanya, bagaimana dia merasakan manisnya iman.”
Abu Abdillah terus menceritakan kepada kami kisah-kisah lain yang dialami Ahmad. Kebanyakan orang-orang terbawa dan tersentuh dengan ceritanya itu. Adapun aku, aku sendiri lalai dan kurang fokus mendengarkan cerita itu. Terkadang aku memandang Ahmad, dan terkadang memandang Fayiz. Aku berkata dalam hati, “Itu Ahmad, dia masih bisa melihat dan mengerti bahasa isyarat, Abu Abdillah berkomunikasi dengannya dengan bahasa isyarat.” Aku melihat ke arah Fayiz, “Bagaimana Abu Abdillah akan berkomunikasi dengan Fayiz sementara dia tidak bisa melihat, mendengar, dan berbicara?”
Selesailah Ahmad berbicara. Dia mengusap sisa air mata-nya. Abu Abdillah menoleh ke arah Fayiz. Aku berkata dalam hati, “Hah, apa yang akan dia lakukan? Abu Abdillah memukulkan tangannya ke punggung Fayiz, maka Fayiz berpindah seperti lotre. Dia menyampaikan ceramah yang sangat berkesan. Tahukah Anda bagaimana dia menyampaikannya??
Dengan kata-kata? Tidak mungkin. Dia seorang yang bisu dan tidak bisa berbicara.
Dengan isyarat? Tidak mungkin. Dia seorang yang buta, tidak akan tahu bahasa isyarat.
Dia menyampaikan kalimat dengan sentuhan. Benar, dengan sentuhan. Abu Abdillah selaku penerjemah meletakkan tangannya di hadapan Fayiz. Lalu Fayiz menyentuhnya de-ngan sentuhan yang mengandung arti. Dari situ penerjemah bisa memahami apa maksud Fayiz lalu menceritakan kepada kami apa yang beliau pahami dari bahasa sentuhan Fayiz.
Selama empat menit beliau selesai menerjemahkan. Sementara Fayiz diam dan tenang. Dia tidak tahu apakah penerjemah sudah selesai atau belum karena dia tidak mendengar dan tidak juga melihat. Manakala penerjemah selesai, beliau menepuk punggung Fayiz lalu Fayiz memegang tangan beliau. Penerjemah meletakkan tangannya di hadapan Fayiz. Kemudian menyentuhnya lagi dengan sentuhan yang mengandung arti.
Pandangan orang-orang berbolak-balik antara Fayiz dan penerjemah. Sesekali mereka terkagum-kagum dan sesekali mereka heran dan penasaran.
Fayiz menganjurkan orang-orang untuk bertaubat. Terkadang dia memegang dua telinganya, terkadang lidahnya, dan terkadang dia meletakan tangan di kedua matanya. Dengan itu dia memerintahkan orang-orang untuk menjaga pendengaran dan penglihatan dari hal-hal yang haram.
Aku memandangi orang-orang. Aku melihat sebagian mereka berulang-ulang mengucapkan “Subhaanallah.” Sebagian yang lain berbisik-bisik dengan orang di sampingnya. Sebagian lain mengikuti dengan seksama. Dan sebagian lainnya menangis.
Adapun aku, pikiranku terbang jauh. Aku membanding-kan kemampuan Fayiz dengan kemampuan mereka. Kemudian aku membandingkan pengorbanan Fayiz untuk agama ini dibandingkan pengorbanan mereka. Semangat yang dimiliki seorang yang buta, tuli, dan bisu mengalahkan semangat mereka semuanya.
Manusia, seribu dari mereka seolah satu orang saja
Dan satu orang seolah seribu apabila dia memerintah atas kita
Seorang laki-laki dengan kemampuan yang sangat terbatas. Akan tetapi dia berjuang untuk berkhidmat bagi agama ini. Dia merasa dirinya adalah bagian dari tentara Islam. Dia menggerakkan tangannya dengan keras, seolah hendak berkata,
“Wahai orang yang meninggalkan shalat.. sampai kapan??”
“Wahai orang yang mengarahkan pandangannya kepada yang haram.. sampai kapan??”
“Wahai orang yang berkubang dalam lumpur kemaksiatan.. wahai orang yang memakan barang haram.. dan wahai orang yang terjerumus dalam kesyirikan.. sampai kapan? Apakah tidak cukup serangan musuh-musuh Islam terhadap agama kita? Justru kalian menambah menyerangnya juga?!”
Seorang yang cacat menggerak-gerakkan wajahnya dan berputar-putar supaya bisa mengeluarkan maksud yang tersimpan dari dalam dadanya. Kebanyakan orang-orang sangat tersentuh. Aku tidak menoleh ke arah mereka, namun aku mendengar suara tangisan dan suara tasbih.
Fayiz selesai menyampaikan nasehatnya, lalu dia berdiri. Abu Abdillah memegang tangannya. Orang-orangpun berhimpit-himpitan untuk menyalaminya.
Aku melihatnya menyalami orang-orang. Aku merasa dia menganggap orang-orang itu setara dan sama. Dia menyalami semuanya, tidak membedakan antara penguasa dan orang biasa, pimpinan dan bawahan, pemerintah dan rakyat. Ikut menyalaminya orang-orang kaya dan orang-orang miskin, orang-orang terhormat dan orang rendahan, mereka semua di sisinya sama.
Aku berkata dalam hati, “Andai saja ada beberapa orang yang bermanfaat sepertimu wahai Fayiz.” Abu Abdillah mengambil tangan Fayiz lalu membawanya keluar dari masjid. Baik penerjemah dan Fayiz, keduanya larut dalam kegembiraan yang membuncah.
Duh.. Alangkah sempitnya dunia. Berapa banyak orang yang tidak diuji dengan seperempat ujian Fayiz namun tidak sanggup keluar dari kesedihan dan kesempitan. Di manakah orang yang terkena penyakit menahun, gagal ginjal, lumpuh, jantung koroner, diabetes? Mengapa mereka tidak merasa nikmat dengan hidup mereka dan selalu mengeluhkan keadaan mereka??
Alangkah indahnya Allah menguji hamba-Nya lalu Allah melihat hati hamba itu dalam keadaan bersyukur, ridha, dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.
Hari-hari berlalu, gambaran wajah Fayiz tergambar di benakku. Aku menemui Abu Abdillah sesudah itu. Aku menanyakan kepadanya tentang Fayiz.
Beliau berkata, “Aahh.. orang buta yang satu itu memiliki banyak keajaiban”
“Bagaimana bisa begitu?” Tanyaku.
Beliau menjawab, “Dalam hidupku aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersemangat mengerjakan shalat daripada Fayiz. Fayiz tinggal di pinggiran kota Riyadh. Kami membuatkan untuknya sebuah bilik kecil di wisma tunarungu. Kami mempekerjakan seseorang untuk mengurusinya, memasakkan makanan, dan membangunkannya untuk shalat. Pekerja itu mendatanginya setiap waktu shalat akan tiba, membuka pintu dan menuntunnya. Fayiz bangkit untuk berwudhu, kemudian menunggu pekerja itu di bawah pintu wisma untuk mengambil tangannya dan menuntunnya untuk shalat.
Pada suatu ketika pekerja itu datang terlambat. Maka Fayiz menggedor-gedor pintu wisma agar pekerja itu segera datang. Tatkala pekerja itu benar-benar terlambat dan Fayiz merasa yakin akan terluput dari shalat, dia merangkak sendiri menuju masjid. Antara dia dan masjid ada dua buah jalan yang saling berhadapan. Dia berjalan dan mengisyaratkan dengan tangannya bagi pengendara mobil, jika seandainya di sana terdapat mobil. Beberapa mobil bertabrakan karena sebab dia, sementara dia sendiri tidak tahu tentang tabrakan itu.
Fayiz memiliki banyak keajaiban. Suatu ketika aku datang ke wisma pada waktu ashar. Ternyata seluruh penghuni wisma menungguku di depan pintu. Mereka mengisyaratkan bahwa Fayiz sedang ada masalah. Akupun menemui Fayiz, waktu itu aku melihatnya dalam keadaan sangat marah. Dia melemparkan tutup kepalanya ke belakang, sementara orang-orang tuli tidak bisa memahaminya.
Ketika aku meletakkan tanganku pada tangannya, akupun tahu. Dia menggenggam tanganku dan menyentuhnya de-ngan sentuhan tertentu. Kemudian aku menyentuhnya dengan sentuhan yang serupa. Marahnyapun mereda.
Tahukah Anda apa yang membuatnya marah? Di waktu subuh hari itu dia terlewatkan shalat berjamaah. Dia berkata, “Pecat pekerja itu..! Gantilah dengan yang lain..!”. Dia menahan air matanya sementara aku berusaha menenangkannya.
Semoga Allah merahmati Fayiz, dan semoga Allah merahmati kita.
***
Diambil dari buku ‘Aasyiqun.. Fii Gurfatil ‘Amaliyyaat..!! karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Arifi
Penerjemah : dr. Supriadi
Silahkan like page Majalah Kesehehatan Muslim dan follow twitter