Kaum pseudosains hampir tidak ada yang memiliki ta’shil (peletakan dasar) ilmu memadai.
Tidak ada konsep para ulama yang menyebutkan bahwa kalau dai sunnah itu harus memprioritaskan ath-thibbun-nabawi. Coba saja cari literatur Islam, atau dari kutub Ibnil-Qayyim rahimahullah yang menulis khusus tentang ath-thibbun-nabawi. Prioritas seorang da’i – atau siapapun – adalah menyampaikan ilmu yang dikuasai. Jika agama, prioritaskan pembinaan ‘aqidah. Beda dengan pseudosains yang menganggap diri ahli di semua bidang, mulai dari agama (yang membuat tafsir yang menyimpang dari tafsiran para ulama mu’tabar), sampai ilmu dunia (yang cuma modal berita dan baca artikel internet).
Seorang dokter tidak terlarang menyampaikan kepakarannya di bidang kedokteran. Bahkan menjadi keharusan. Para ulama menekankan, ilmu kedokteran merupakan ilmu vital yang harus dimiliki umat Islam. Ilmu kedokteran tidak harus semuanya bersumber dari nash, karena nash sendiri hanya sedikit menyebutkan tentang beberapa jenis pengobatan. Nash hanya mengatur kaidah umum dalam berobat, bukan bagaimana cara berobat dan teknis pengobatan penyakit tertentu. Itu sangat dipahami, karena syari’at Nabi turun memang bukan untuk urusan obat-mengobati.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, maka sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘azza wa jalla”.
Obat (dawaa’) terdiri dari 2, yaitu (1) ruuhiy ma’nawiy seperti ruqyah, doa, dan istighfar; (2) hissiy maadiy seperti madu, jintan, hijamah, dan pengobatan lain yang ma’ruf dalam ilmu kedokteran.
Jika ada seorang dokter mempunyai kapasitas ilmu agama yang memadai, kita patut bersyukur. Artinya, dirinya dapat memadukan dua macam pengobatan yaitu yang bersifat ruuhiy ma’nawiy dan hissiy maadiy. Seorang dokter yang memiliki ‘aqidah lurus dan kompetensi ilmu kedokteran yang bagus, tentu lebih diutamakan dibandingkan yang lain – termasuk pseudosains yang tekor dalam dua hal tersebut. Seandainya ada dokter yang disebut ‘ustadz’, apa masalahnya ?
Jika ilmu agamanya diperoleh melalui rangkaian belajar serius dan kemudian juga diakui oleh ‘ustadz/ulama mu’tabar’ lainnya; terus kita mesti keberatan kalau ada yang memanggil ustadz begitu ?
Saya contohkan satu kasus,
dalam QS. An-Nahl ayat 69 disebutkan madu yang dihasilkan lebah memiliki khasiat untuk pengobatan penyakit. Sebagai muslim, kita wajib percaya. Tapi apakah dari sini pemahamannya setiap sakit HARUS diobati dengan madu? Jawabannya tidak harus. Bahkan untuk penyakit atau kelainan tertentu, konsumsi madu perlu dibatasi.
Misalnya bagi para penderita diabetes parah yang memerlukan terapi insulin. Siapa yang bisa berbicara masalah ini? Fuqahaa’ dan ahli hadits ? Bukan, akan tetapi dokter, farmakolog, atau ahli gizi. Ketika ada orang yang jatuh terkena serangan jantung mendadak, apakah bijak jika seorang pseudosains menganjurkan agar orang yang terkena serangan jantung mendadak itu dicekokin mulutnya agar menelan jintan hitam, susu, madu, plus dibekam? Allahumma…. tentu tidak. Bisa lewat.
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan sebagai pertolongan pertama, setelah itu dokter ahli jantung lebih tahu apa yang harus diperbuat. Apa yang dipelajari di Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Gizi tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”
Saran saya, tak usah tengok fatwa kaum pseudosains. Para ulama semisal Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah jika berfatwa tentang kedokteran, beliau meminta penjelasan terlebih dahulu dari pakarnya (dokter). Bukan kepada para pengkhayal. Begitu juga jika para ulama kita sakit, mereka akan berobat ke dokter yang berkompeten – selain mengkonsumsi makanan yang dihalalkan dan ditegaskan kemanfaatannya oleh syari’at (madu, jintan, kurma, dll).
Penulis: Ust. Dony Abul Jauzaa’