Sebagai seorang dokter, hendaklah kita selalu meningkatkan profesionalisme kita dalam bidang kesehatan. Hal ini karena masih adanya keluhan yang disampaikan oleh masyarakat bahwa ada dokter yang kurang “profesional” dalam mengobati, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan pasiennya. Sehingga muncullah masalah-masalah yang kadang harus diselesaikan di pengadilan. Demikianlah, masyarakat kita semakin kritis karena kemajuan teknologi informasi yang demikian cepatnya.
Dalam hal ini, hendaklah kita mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلاَ يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barangsiapa yang melakukan suatu praktik pengobatan, padahal dia bukan ahlinya (baca: tidak profesional), maka dia harus bertanggung jawab (jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan).“ (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 635)
Hadits ini menunjukkan bahwa yang menjadi dokter (tabib) itu harus orang ahli, memiliki ilmu dan keahlian dalam ilmu pengobatan dan merawat pasien. Pada jaman dahulu, cukup dianggap “ahli” jika memiliki pengalaman yang cukup dalam masalah pengobatan. Sedangkan pada jaman ini, baru disebut ahli dan profesional jika telah lulus dalam ujian kualifikasi sebagai dokter oleh institusi yang berhak menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Sehingga dia memperoleh ijin untuk melakukan praktik dalam bidang pengobatan, berdasarkan aturan undang-undang yang berlaku. [1]
Oleh karena itu, berdasarkan hadits di atas, kita jumpai dalam syariat Islam adanya aturan khusus ketika terjadi kesalahan (baca: malpraktek) sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien, baik kesalahan itu karena kebodohan (tidak ahli dan profesional) atau karena kelalaian dokter. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian syariat terhadap masalah ini. [2]
***
Diselesaikan menjelang isya’, Rotterdam NL 2 Muharram 1439/23 September 2017
Yang senantiasa membutuhkan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki: