Pengobatan yang Aman Untuk Ibu Hamil

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Tidak kita pungkiri bahwa penggunaan obat sebagai salah satu bentuk ikhtiar menyembuhkan penyakit juga memberikan efek samping maupun efek lain yang tidak diharapkan setelah dilakukan pengobatan. Pada kondisi khusus seperti kehamilan, maka salah satu resiko yang harus dipertimbangkan saat mengkonsumsi obat yaitu kemungkinan munculnya efek teratogenik setelah terapi. Teratogenik adalah perubahan bentuk (berupa kecacatan fisik) atau fungsi organ (tidak terjadi kecacatan fisik, namun fungsi organ atau jaringan tertentu menjadi terganggu bahkan rusak) yang disebabkan paparan dari luar (obat, virus, bakteri, zat kimia, polusi dll). Oleh karena itu, dalam menggunakan maupun memilih obat bagi ibu hamil perlu dianalisis besarnya manfaat dibandingkan dengan kemungkinan efek teratogenik yang dihasilkan.

Efek obat pada janin secara umum tidak sama pada setiap fase kehamilan. Pada trimester pertama efek teratogenik cenderung pada kecacatan fisik karena pada fase ini organ utama bayi baru terbentuk, sedangkan pada trimester kedua dan ketiga lebih cenderung pada kecacatan fungsional. Beberpa contoh kasus yang cukup terkenal adalah kisah Thalidomid (obat mual muntah pada ibu hamil) yang menyebabkan kecacatan massal pada hampir seluruh bayi yang ibunya mengkonsumsi obat ini sehingga obat ini ditarik kembali. Contoh lainnya adalah penggunaan ACE Inhibitor (Captopril, lisinopril dll) pada trimester kedua dan ketiga menyebabkan hipotensi pada janin.

Hanya obat-obatan dengan sifat tertentu dapat masuk ke dalam janin yang umumnya melalui plasenta. Pun tidak semua obat yang dapat menembus plasenta memberikan efek buruk bagi bayi. Lalu, bagaimanakah kriteria obat yang aman dan tidak aman bagi wanita hamil?

Sebagian besar obat telah diketahui tingkat keamananya terhadap ibu hamil sehingga bisa dijadikan acuan awal dalam pemilihan obat. Obat Kategori A merupakan obat yang memiliki index keamanan paling tinggi. Hasil penelitian (terkontrol dan memadai) menunjukkan penggunaan pada wanita hamil tidak memberikan resiko pada janin. Obat kategori B tidak ada resiko pada manusia namun ada resiko pada penilitian dengan hewan uji atau penelitian pada hewan uji menunjukkan tidak ada resiko, tapi data penelitian pada manusia belum memadai. Obat kategori C menunjukkan penelitian pada hewan maupun manusia tidak memadai sehingga resiko tidak dapat dikesampingkan, sedangkan obat kategori D resiko pada janin terbukti positif baik melalui penelitian maupun post marketing study (pengawasan terhadap obat yang baru diluncurkan di pasaran). Adapun obat kategori X dikontraindikasikan pada wanita hamil karena resiko pada janin lebih merugikan dari manfaatnya. Kriteria obat di atas dapat di cek pada brosur obat atau ditanyakan kepada dokter dan apoteker.

Berikut beberapa tips penggunaan maupun pemilihan terapi pada wanita hamil.

  1. Pemberian obat hanya dilakukan apabila telah jelas manfaatnya lebih besar dari resikonya.
  2. Sedapat mungkin hindari penggunaan obat, khsususnya pada trimester pertama kehamilan. Penyakit ringan yang tidak membutuhkan obat rutin bisa diusahakan dengan terapi non-farmakologi (tanpa obat)
  3. Katakan kepada dokter atau apoteker pada pelayanan kesehatan apabila anda dalam keadaan hamil sehingga dokter maupun apoteker dapat mempertimbangkan terapi yang aman untuk anda
  4. Hindari obat baru karena data keamananya secara klinis masih terbatas
    Usahakan monofarmasi (menggunakan satu obat saja)
  5. Gunakan obat dengan durasi sesingkat mungkin (kecuali pada antibiotik atau obat-obat tertentu) atau dosis efektif yang lebih rendah (tapi tetap harus diperhatikan jenis obatnya, perubahan fisiologis ibu hamil menyebabkan sebagian obat perlu ditingkatkan dosisnya untuk mendapatkan khasiat yang sama)
  6. Apabila obat yang digunakan diduga kuat memberikan efek teratogenik, maka segera konsultasikan kepada dokter agar dapat ditindaklanjuti

Tips-tips yang telah disebutkan di atas tidak semuanya bisa dilakukan secara mandiri oleh wanita hamil tanpa rekomendasi maupun diskusi dengan dokter dan apoteker. Penilaian kemanfaatan dan resiko tentu lebih diketahui oleh dokter, apalagi pada penyakit yang memiliki resiko yang besar pada ibu apabila obat dihentikan namun penggunaan obatnya juga beresiko teratogenik pada bayi. Pun terkait monofarmasi, penurunan dosis maupun durasi penggunaan obat sebaiknya di bawah pengawasan dan instruksi apoteker agar pengobatan tidak sia-sia. Kolaborasi dan komunikasi yang baik dengan nakes menjadi salah satu sebab keberhasilan terapi. Lebih dari itu semua, tawakkal kepada Allah Ta’ala hendaknya selalu mengiringi setiap ikhtiar yang dilakukan sehingga tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan apalagi bergantung dengan sebab-sebab yang tidak ada landasannya dalam syari’at.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk kita semua

Penulis : Titi Komalasari (Mahasiswi Fakultas Farmasi UMY)

Share.

Leave A Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.