Serangan jantung yang kita ketahui merupakan kondisi emergensi atau gawat darurat yang diakibatkan oleh adanya sumbatan di dalam pembuluh darah koroner [1], dimana pembuluh darah koroner adalah pembuluh darah yang memberikan atau mensuplai kebutuhan jantung itu sendiri, sehingga ketika terjadi serangan jantung. Jantung tidak memperoleh asupan kebutuhannya yang seharusnya diberikan oleh pembuluh koroner.
Kondisi serangan jantung tentu bukan layaknya penyakit lain yang bisa menunggu waktu, kondisi serangan jantung harus cepat dan segera ditangani. tujuannya satu, tujuannya adalah memulihkan kembali aliran darah koroner yang tadinya tersumbat. Ada dua cara yang dewasa ini bisa dilakukan untuk mengtasi serangan jantung, yang pertama adalah dengan pemberina obat-obatan yang fungsinya adalah menghancurkan sumbatan yang menghalasi arteri koroner tersebut. dan yang kedua adalah cara mekanik yakni kita melakukan prosedur tindakan tertentu yang bertujuan untuk mengalirkan kembali darah di arteri koroner [2,3].
Tidak semua fasilitas kesehatan bisa melakukan kedua atau salah satu prosedur tindakan yang tadi kita bicarakan, hanya beberapa rumah sakit yang bisa melakukannya. sehingga kita harus benar-benar mengerti kemana harus membawa atau mengantar jika mendapatkan kasus serangan jantung. Biasanya, rumah sakit yang telah mendapatkan akreditasi rumah sakit tipe B sudah bisa melakukan salah satu dari kedua tidakan tersebut, sementara rumah sakit bertipe A, tentu sudah bisa melakukan kedua tindakan tersebut, yang menjadi perhatian tidak hanya kemana kita harus mengantar atau membawa korban serangan jantung, akan tetapi juga yang harus menjadi perhatian kita adalah berapa lama kita harus mengantarnya?
Asosiasi dokter jantung di Amerika (AHA-American Heart Association) dan European Society of Cardiology (ESC) memberikan rekomendasi yang cukup ketat terkait dengan penanganan serangan jantung. Rekomendasinya adalah secepatnya dan sesegera mungkin mendapatkan penenganan reperfusi pembuluh darah koroner, karena Time is Muscle, artinya waktu adalah otot jantung. Semakin lambat kita membuka pembuluh darah koroner, semakin banyak pula otot-otot jantung yang akan rusak secara permanen. itulah alasan yang mendasari rekomendasi yang sangat ketat untuk penanganan serangan jantung, sebagai contoh untuk jenis penanganan pertama yakni penanganan reperfusi menggunakan obat waktu yang di berikan adalah < 30 menit sejak pasien atau penderita serangan jantung membuka pintu rumah sakit (rumah sakit yang mampu melakukan reoerfusi obat) [1,4-6]. Rekomendasi lain dari AHA adalah ketika waku yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas kesehatan yang dituju lebih dari 30 menit maka diharapkan ketika di ambulans bisa dilakukan reperfusi dengan obat [6]. Tidak lain tujuannya adalah untuk secepatnya mengeliminasi kerusakan otot jantung dan menyelamatkan sebanyak mungkin otot yang masih bisa diselamatkan. Memang tidak mudah untuk mencapai target ini, karena elemen rumah sakit yang terkait untuk penanganan serangan jantung juga tidak sedikit. akan tetapi kami sebagai petugas medis di Indonesia juga berusaha keras untuk mencapai target ini. Sehingga lebih banyak pasien yang bisa mendapatkan pertolongan dengan maksimal. Keterlambatan yang biasanya ditemui dilapangan yang menaikkan resiko kematian atau perburukan kondisi adalah keterlambatan membawa kerumah sakit dengan berbagai alasan yang mendasari.
Diharapkan dengan segera membawa kerumah sakit yang tepat untuk mendapatkan reperfusi maka resiko-resiko dari serangan jantung diharapkan dapat diturunkan dengan baik.
Saran kami,
Ketika kita berada disuatu tempat, katakanlah tempat tinggal permanen kita, maka kita harus tahu jika terjadi serangan jantung atau mendapatkan korban penderita serangan jantung kita harus tahu kemana harus membawanya. dan sesegera mungkin membawa korban penderita serangan jantung tersebut, jangan menunggu mengumpulkan keluarga atau menunggu seseorang yang memperlambat tindakan reperfusi, karena “Time is Muscle”
Referensi
1 Thygesen, K. et al. Third universal definition of myocardial infarction. European heart journal 33, 2551-2567, doi:10.1093/eurheartj/ehs184 (2012).
2 Steg, P. G., James, S. K., Atar, D. & Badano, L. P. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force on the management of ST-segment elevation acute myocardial …. European heart, 1-66, doi:10.1093/eurheartj/ehx393 (2012).
3 Roffi, M. et al. 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. European heart journal, ehv320-ehv320, doi:10.1093/eurheartj/ehv320 (2015).
4 Windecker, S. et al. 2014 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS)Developed with the special contribution o. European heart journal 35, 2541-2619, doi:10.1093/eurheartj/ehu278 (2014).
5 Hafid, A. & Kartika, I. Serangan Jantung; Tea Time Bersama dr Hafid & dr Ika. Vol. 1 (Q Stuffs, 2017).
6 O’Connor, R. E. et al. Part 9: Acute Coronary Syndromes: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 132, S483-500, doi:10.1161/CIR.0000000000000263 (2015).